Manusia lahir
dalam keadaan Fitrah.[1]
Kondisi Fithrah merupakan konsekuensi
dari substansi penciptaan manusia yang memang berasal dari Ruh-Nya.[2]
Sifat ini secara hakiki akan menggiring manusia untuk selalu cenderung kepada
kebenaran. Maka perjalanan manusia sejati di muka bumi pada hekekatnya adalah
perjanjian manusia menuju kebenaran mutlak yaitu Allah. Lalu ruh ditiupkan kedalam jasad maka saat itu manusia melakukan
materialisasi. Sesuatu yang suci dan immateri tersebut bercampur dengan sesuatu
yang material. Proses penciptaan manusia mempunyai keistimewaan dibanding ciptaan-Nya
yang lain. Karenanya manusia mempunyai tugas kekhalifahan yang harus
dijewantahkan dengan metakukan penyiaran
nilai kebenaran. Untuk menemukan kebenaran manusia mempunyai aiat yaitu akal, rasio, dan kalbu
yang berpadu dalam fisik/psikis, dan menjadi
bangunan diri manusia. Karena kebenaran yang mutlak berasal dari yang
mutlak maka manusia dalam melakukan
pencarian kebenaran menggunakan metode yang harus digariskan oleh Pencipta kebenaran.
Persefektif transendental inilah yang menjadi elan vital bagi manusia untuk mencari kebenaran
jika manusia tidak ingin teralienasi dari
dirinya sendiri. Kepercayaan
menjadi landasan utama manusia untuk mencari kebenaran, sehingga pada akhirnya kepercayaan menjadi
bagian yang terintegrasi dalam diri manusia.
Manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya merupakan refleksi
terhadap nilai-nilai kepercayaan. Dengan
memposisikan kepercayaan tersebut diharapkan mampu melahirkan sistem
kepercayaan yang terus menerus mentransformasikan nilai-niiai kepada umat manusia. Nilai-nilai
kepercayaan tersebut akan menjadi
pemandu perubahan sekaligus menopang
budaya dan peradaban. Beragam kepercayaan yang ada mempunyai latar belakang yang berbeda
sehingga perlu pemurnian kepercayaan yang
berasal dari Tuhan sebagai sumber nilai kebenaran mutlak. Tuhan, seperti
yang dimaksud dalam syahadat sebagai nilai utama dalam Islam mempunyai pemaknaan yang sangat luas. Bukan
saja dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Allah (hablum Minallah) tetapi
juga memberi penguatan terhadap relasi sosial (hablum Minnas). Diawali dengan
kalimat La Ilaahaillah berisi penegasan terhadap segala bentuk penuhanan yang ada didunia.
Dengan demikian manusia harus
terbebaskan dari berbagai bentuk tuhan yang ada, lalu dilanjutkan dengan
kalimat illa Allah memberi pemaknaan
setelah pemebasan manusia dari berbagai belenggu Tuhan maka hanya ada satu yang merepresentasikan nilai
Kebenaran itu yakni Allah SWT.
Ketauhidan adalah dengan mengakui dan meyakini keberadaan (eksistensi) dzat tuhan, keberadaan dzat tuhan mutlak dan
tidak terdefinisikan dan hanya bisa
didekati melewati via negativa. Prasangka tentang tuhan hanya berlandaskan asumsi-asumsi subyektif
yang sifatnya spekultif. Karena Dzat Tuhan
menjadi rahasia tuhan sendiri maka manusia mendekati Tuhan hanya melalui
ciptaan-Nya.[3]
Sebagai konsekuensi dari Dzat segala Dzat Tuhan maka tidak boleh ada ciptaan Tuhan yang mengklaim
dirinya yang mempunyai kekuasaan terhadap
ciptaan lainya. Untuk selanjutnya adalah mengakui keberadaan sifat-sifat
Tuhan. Deskripsi tentang sifat-Sifat Tuhan
meliputi nama Tuhan. Kesemuanya menjadi suatu kesatuan yang utuh, disamping Tuhan mempunyai sifat
yang menggambarkan superioritas-Nya juga mempunyai sifat-sifat kelembutan.
Penggambaran sifat tuhan yang timpang memberikan implikasi yang negatif terhadap
proses pembentukan nilai kebenaran. Meskipun
dengan ke-Maha-an Tuhan jangan menjadikan manusia mengalami kepasrahan yang berlebihan yang akhirnya
membelenggu kemerdekaan manusia. Untuk
itu, manusia dengan potensinya berhak untuk menentukan nasibnya. Dari
sifat Tuhan itulah manusia akan
mengetahui kemahaan Tuhan yaitu dengan mengenali perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan dalam hal ini adalah
bagaimana Tuhan mendapatkan alam dengan
sangat teratur ditinjau dari segi apapun. Keteraturan ini secara rasio, akal
dan kalbu menggambarkan tentang
bagaimana Tuhan mendapatkan alam. Dari pengenalan Tuhan itulah manusia dengan
potensi kepercayaan menjadikan spirit
perubahan dalam memenuhi tanggung jawab kemanusiaan, sebagai konsekuensi dari keyakinan "ada" nya Tuhan.
Manusia adalah puncak ciptaan
Tuhan, merupakan makhluk tertinggi dan
wakil Tuhan memakmurkan bumi dengan menerapkan
nilai-nilai-Nya (membangun peradaban). Jadi keberadaan manusia adalah
disengaja, tidak main-main dan akan
dikembalikan kepada Tuhan untuk pertanggungjawaban[4].
Oleh karena itu sebagai pengemban amanah tentu saja manusia adalah makhluk
pilihan yang dibekali dengan segenap potensi agar misi yang diembannya dapat
terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya
melainkan suatu keseluruhan susunan
sebagai sifat-sifat dan kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu
fitrah. Fitrah membuat manusia
berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (hanief). Itu dikarenakan karena Tuhan telah
mengambil perjanjian dengan manusia
tentang keesaanNya agar manusia mengenal kebenaran yang mutlak (Tuhan)[5].
Kehanifan manusia berwujud pada
dlamier atau hati nurani adalah pemancar
keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia
adalah kebenaran mutlak atau kebenaran
terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Fitrah merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
Meskipun cenderung kepada kebenaran namun Tuhan menyediakan dua jalan sebagai penguji bagi manusia. Pilihan jalan
yang diambil sepenuhnya diserahkan kepada
manusia. Bila ia inginkan kebenaran maka jadilah ia menjadi benar dan
bila manusia ingin menempuh kesesatan
maka sesatlah ia.[6]
Tuhan akan menunjukan jalan kepada
manusia yang mengusahakannya. Pada mula dilahirkan manusia tidak mengetahui
apa-apa. Kelahiran manusia dalam keadaan
suci. Kemudian Allah melengkapi indera dan akal sebagai bekal manusia mengenali lingkungannya. Manusia dapat
berubah melanggar ciri asasi kemanusiannya
karena lingkungan dan dorongan nafsunya. Barang siapa menuhankan
nafsunya maka ia telah kehilangan
derajat kemanusiaan bahkan lebih rendah nilainya dari pada binatang ternak[7].
Karena itu adalah beruntung bagi orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotori
jiwanya[8].
Penyucian jiwa itu dengan banyak
mengingat Tuhan[9] dan
mendirikan shalat adalah salah satu
perwujudan dari mengingat Tuhan[10].
Fenomena Hukum Islam di Masyarakat
Menurut Natsir,
Islam – berbeda dengan agama-agama lainnya – mengandung peraturan-peraturan
atau hukum-hukum kenegeraan, termasuk hukum perdata dan pidana. Untuk
melaksanakan hukum-hukum tersebut tentunya diperlukan lembaga yang dengan
kekuasaannya dapat menjamin hukum-hukum itu. Oleh karena itu adanya penguasa
atau pemerintah, ummat Islam bebas
memilih mana yang paling sesuai asalkan tidak bertentangan dengan
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.
Natsir membenarkan
bahwa Islam memang bersipat demokratis, tapi sama sekali tidak berarti bahwa
semua hal, termasuk hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Islam, masih perlu
dikukuhkan atau ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui pemungutan
suara. Atau dengan kata lain, musyawarah itu hanya terbatas pada hal-hal yang
belum ditetapkan hukumnya, dan mencari cara yang terbaik untuk melaksanakan
hukum-hukum yang telah ditetapkan. (Sjadzali, 1991: 193)
Natsir menjamin
dalam satu negara yang berdasarkan Islam, umat dari agama-agama lain mendapat
kemerdekaan beragama dengan luas; dan mereka tidak akan keberatan kala di
negara itu berlaku hukum Islam mengenai soa-soal kemasyarakatan, karena hukum
tersebut tidak bertentangan dengn agama mereka, mengingat bahwa dalam agama
mereka memang tidak ada peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu.
Dalam pidatonya
di muka Pakistan Institute of International Affairs, Karachi tanggal 2 April
1952, Natsir mengatakan:
Pakistan jelas
merupakan suatu negeri Islam, baik dilihat dari penduduknya (yang beragama
Islam) maupun kerena pilihannya untuk menyatakan Islam sebagai agama negara.
Demikian pula Indonesia adalah suatu negara Islam dengan adanya kenyataan bahwa
Islam diakui sebngai agama bagi rakyat Indonesia, meskipun dalam Undang-undang
Dasar RI tidak dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak
memisahkan agama dari kenegaraan. Indonesia menempatkan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai
landasan rohani, moral dan etika bagi negara dan bangsa. Dengan demikian maka
di kedua negeri dan rakyat kita, Islam menduduki tempat yang sangat esensial
dalam kehidupan kita, hal mana tidak berarti bahwa sistem negara kita itu
teokrasi.(Sjadzali, 1991: 194-195)
Padahal
sesungguhnya ruang lingkup dan cakupan Hukum Islam sangat luas, meliputi
berbagai aspek kehidupan manusia.
Diantara
penyebabnya adalah persepsi sebagian umat Islam terhadap produk Hukum Islam
yang masih sering mengidentikan Fiqh dengan Syariah. Menurut Atho’ Mudzhar yang
selanjutnya dikutif oleh Rofiq (2001: 157-158) bahwa ragam produk Hukum Islam
itu ada empat macam. Pertama, fiqih yaitu bangunan pengetahuan keislaman yang
meliputi iabadah dan muamalah secara menyeluruh. Kedua,fatwa yaituproduk
pemikiran hukum perorangan kelembagaan, atas dasar permintaan anggota
masyarakat terhadap persoalan-persoalan tertentu. Ketiga, keputusan pengadilan.
Produk Hukum ini mengikat pihak-pihak yang berperkara. Sebagai hasil ijtihad
hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi
hukum dalam menyelesaikan persoalan yang sama. Keempat, peraturan
perundag-undangan termasuk didalamnya kompilasi.
Seiring dengan
diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, akhir-akhir ini dibeberapa wilayah di
Indonesia terdengar cukup nyaring tuntutan pemberlakuan syari’at Islam.
Mengenai syari’at Islam ini Irfan Hielmy (2002:2) memberikan penjelasan sebagai
berikut:
Syari’at pada
awalnya, sebagaimana dipahami oleh para ulam salaf, mencakup keseluruhan aspek
ajaran Islam (akidah, akhlak dan Hukum Islam). Mereka memberikan pengertian
syari’ah sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hambanya
yang dibawa oleh nabi-nabinya, baik hukum-hukum
itu berhubungan dengan cara berakidah maupun beribadah. Dalam pengertian
ini, syari’ah adalah agama itu sendiri (al-Millah wa al-Din). Syari’ah dengan
demikian mencakkup segala aspek yang tercakup dalam ajaran Islam. Ia mencakup
aspek akidah, ibadah dan akhlak.
Tetapi, syari’ah
juga dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam yang mencakup bidang hukum-hukum
yang digariskan Allah dan Rasulnya dan tidak mencakup aspek akidah dan akhlak.
Syari’ah lebih dekat dengan pengertian Hukum Islam, bahkan lebih mendekati
pengertian fiqih dalam arti umum. Mahmud Saltowut, misalnya, menulis kitab
‘al-Islam Aqidah wa Syari’ah yang didalamnya membedakan antara syari’ah dan
syari’ah. Ia memberikan pengertian syari’ah sebagai :
Peraturan-peraturan
yang ditetapkan Allah supaya manusia berpegang kepadanya, (pengaturan) dalam
hubungan manusia dngan Tuhannya,
hubungan manusia denagn saudaranya sesama manusia, hubungan manusia
dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.
Hukum Islam (Syari’at Islam)
Dalam khazanah
hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dari dua
kata, yaitu Hukum dan Islam. Hukum menurut Oxford
English Dictionary, adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan
formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu
mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya, orang yang tunduk
kepadanya atau pelakunya. Sedangkan menurut Hooker, hukum adalah setiap aturan
atau norma di mana perbuatan-perbuatan itu terpola. Dan kata Blackstone, hukum
adalah suatu aturan bertindak dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada
segala macam perbuatan, baik yang bernyawa ataupun tidak, rasional maupun
irasional. (Rofiq, 2001: 22)
Pengertian hukum
yang lebih luas dikemukakan oleh McDonald, yaitu hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara
atau masyarakat yang berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. (Rofiq, 2001: 23)
Sedangkan Islam
menggunakan terma syari’ah atau fiqih, yang keduanya berkaitan erat
sebagai formulasi dari hukum Islam. Syari’ah berasal dari bahasa Arab dari akar
kata syara’a yang memiliki arti
jalan, peraturan atau undang-undang. Kemudian kata ini menjadi istilah baku
untuk hukum Islam, yakni seperangkat sistem peraturan yang ditetapkan Allah
segai pegangan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah (habl min Allah)
maupun hubungan dengan sesama manusia (habl min al-nas). (Hidayat, 1988:136)
Kata syari’ah
terdapat dalam surat al-Jatsiyah [45] ayat 18, sebagai berikut:
“Kemudian kami
jadikan kamu berada di atas suatu syari’ah dari setiap urusan itu, maka
ikutilah syari’ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18)
Menurut Hidayat
(1988: 137) secara global syari’ah terbagi menjadi dua kategori, yakni: (a)
Peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan langsung dengan Tuhan, yang
disebut qa’idah ubudiyah dalam arti
khas; (b) Peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia
atau dengan alam lainnya, yang disebut qa’idah
mu’amalah atau mu’amalah saja
atau ibadah dalam arti luas.
Syari’at dalam
kategori pertama (qa’idah ubudiyah),
berisi bentuk materi hukum yang sudah baku untuk dilaksanakan. Ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits Nabi saw yang menjadi rujukan kategori ini memberikan
keterangan yang terperinci dan berkekuatan tetap, seperti terlihat dalam tata
cara wudlu, shalat, pusa, haji dan sebagainya. Artinya, peraturan-peraturan
atau hukum-hukum yang menyangkut tata cara ibadah ini tidak dapat diubah atau
tidak dapat diganggu gugat lagi, melainkan harus dilaksanakan tetap sebagaimana
cra diperintahkannya. Selain itu, peraturan teperinci juga terdapat dalam
bidang hukum yang mengatur tata cara berkeluarga, seperti hukum yang mengatur
kelompok wanita yang tidak bolah dinikahi oleh seorang pria (Q.S. 4: 22-24)
yang gunanya untuk mencegah kekacauan keturunan dan pertalian darah. Atau hukum
yang menetapkan siapa saja anggota keluarga yang berhak mendapat warisan dan
berapa persen jatah masing-masing dengan melihat pertimbangan ahli waris sang
pemilik harta itu ketika meninggalkan dunia, sudah dipotong oleh utang atau
wasiatnya. (Q.S. 4: 11-12, 176)
Syari’ah dalam
kategori kedua (qa’idah muamalah),
berisi bentuk materi hukum yang bersifat umum dan fleksibel, yakni yang berupa
norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan. Misalnya, tata cara bernegara.
Al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip saja dengan berpegang kepada cita “baldah thayibah wa rabb ghafur” (suatu
negara yang makmur dibawah perlindungan Tuhan Yang Maha pengampun) yang
terdapat dalam surat Saba ayat 15. Namun bagaimana mendirikan negara, bahasa
dan bendera negara, konstitusi atau undang-undang negara, wewenang kepala
negara, fungsi kepala negara, kewajiban dan hak-hak serta tugas-tugasnya atau
tentang pembangunan suatu negara yang thayibah itu tidak diberikan
keterangannya secara terperinci. Ini menghendaki seperangkat peraturan lagi
tentunya. Peraturan ini harus dibuat oleh para ahli di bidang ini, dengan
berijtihad semaksimal mungkin terhadap norma-norma dasar atau pokok-pokok
aturan tersebut. Maka norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan itu
tergolong syari’ah, sedang peraturan-peraturan baru yang disusun berdasarkan
ijtihad manusia terhadap norma-norma atau pokok-pokok peraturan itu disebut
hukum ijtihadiyyah atau hukum fiqih, yang biasa disingkat fiqih saja. Dengan
demikian, yang pertama (norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan mempunyai
kekuatan tetap (permanen), sedangkan yang kedua (hukum ijtihadiyyah atau hukum
fiqih), dapat diubah, dimodifikasi atau ditinjau kembali. (Hidayat, 1988:
137-138)
Abdul Wahhab
Khallaf (1996 : 1) mendefinisikan fiqih dengan:
“Kumpulan
hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari
mengistimbath dalil-dalil syari’at Islam lain bagi kasus yang tidak terdapat
nashnya.”
Ada beberapa
pandangan ulama yang berbeda tentang pemahaman fiqh dengan syari’at. Kelompok pertama menyatakan bahwa fiqih
itu sama pengertiannya dengan syari’at. Seperti yang ditulis Hasbi
Ash-Shiddieqy dan Abdurrahman Wahid, yang dikutip kembali oleh Muhammad Azhar
(1996: 5), ia menyatakan:
Hukum Islam yang
sebenarnya tidak lain dari fiqih Islam, atau syari’at Islam, yaitu: “Koreksi daya upaya para fuqaha dalam
menetapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Abdurrahman Wahid
menuliskan sebagai berikut:
“Hukum Islam biasanya dikenal dengan nama fiqih (yang tadinya memiliki arti
bahasa ‘memahami’), sering juga disebut syari’ah (yang semula berarti ‘hasil perbuatan’). Penamaan dengan
istilah fiqih ini menunjukan totalitas luas lingkupnya dalam kehidupan,
sehingga penerapannya dalam segala aspek kehidupan itu harus dianggap sebagai
upaya pemahaman agama itu sendiri.”
Kelompok kedua, yang menyatakan
bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu sesuatu yang berbeda . Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang
bersifat relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai
Islam yang bersifat absolut, universal dan abadi.
Diantar yang
mewakili kelompok kedua ini adalah Ibrahim Hosen, yang dalam salah satu
dialognya beliau mengatakan:
”Sengaja saya bedakan antara fiqih dan hukum syariat sesuai dengan pendapat
ulama muta’akhirin. Dulu syari’ah demikian luas. Akidah termasuk syari’ah.
Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah dikhususkan dengan hukum , dengan
tingkah laku manusia. Syari’ah tidak mnerima penafsiran, seperti wajibnya
shalat dan haramnya judi. Dalam masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Ini
sudah sifat fiqih. Syari’ah hanya satu.” (Azhar, 1996: 6)
Kelompok ketiga, berpandangan
bahwa fiqih itu tidak hanyha difokuskan pada hukum Islam tetapi mencakup semua
spek ajaran Islam. Nurcholis Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Azhar dalam
salah satu presentasi makalahnyapada Kajian Agama Paramadina, beliau
menyatakan:
“Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran
agama, seperti dimaksud oleh Kitab Suci; Tidaklah seharusnya orang-orang
beriman maju (ke medan perang) semuanya. Alangkah lebih baiknya kalau dari
setiap kelompok dari mereka itu ada sebagian yang pergi (ke medan perang), agar
(yang lainnya) dapat memperdalam pemahamannya tentang agama, dan agar mereka
ini dapat mengingatkan (mengajari) kaum mereka (yang pergi ke medan perang)
bila telah kembali kepada mereka, supaya mereka itu dapat menjagadiri (dari
perbuatan yang tidak benar). (at-Taubah: 122)
“Memperdalam pengertian tentang agama” itu, dalam bahasa Arab ialah: tafaqah fi al-din, berdasarkan lafal
firman itu sendiri. Dan dari perkataan tafaqah
itu terambil kata fiqih , yang
artinya ‘pendalaman agama’ atau ‘emahaman yang mendalam’. Maka penggunaan
kata-kata itu di zaman para sahabat memiliki pengertian ‘pemahaman yang mendalam’ tentang keseluruhan materi dan semangat
ajaran agama seperti yang dimuat dalam Kitab Suci dan dicontohkan oleh Sunnah
Nabi.
Di sisi lain
Nurcholis Madjid menyatakan:
“.........sistem hukum dalam al-Qur’an lebih merupakan etis dan moral dari
pada ketentuan legal-moral seperti yang ada dalam pengertian ‘fiqih’ sekarang.
Tetapi justru karena kenyataan ini, maka fiqih yang ada sekarang ini pun tetap
mengandung bagian-bagian yang sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral,
bukan masalah legal. Contohnya yang paling mudah ialah selalu dimulainya
pembahasan dalam kitab-kitab fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani. (Azhar, 1996: 7-9)
Dan dari ketiga
pandangan tokoh tadi, pandangan kedua dan ketiga merupakan pandangan yang
pantas dikedepankan.
Kata syari’ah, penggunaannya dalam
al-Qur’an, identik dengan jalan yang jelas menuju kemenangan, atau jalan raya
kehidupan yang baik. Jadi, syari’ah merupakan nilai-nilai keagamaan yang
berfungsi mengarahkan kehidupan manusia. Apabila kita mengacu pada informasi
al-Qur-an, ajaran-ajaran agama sebelum Islam – dalam pengertian teknis – juga
disebut syari’ah. Karena bagi setiap umat Allah memberikat syari’at dan jalan
yang terang. (Q.S. al-Maidah [5] : 48). Praktis ajaran-ajaran agama yang
diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu, disebut juga dengan syari’ah. Yang dimaksud syari’ah disini adalah semua aspek ajaran
Islam. (Rofiq, 2001: 15)
Wacana penerapan
syari’at Islam telah mendapata ruang yang sangat luas dengan diberlakukannya
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Namun jauh-jauh hari
sebelum Otonomi Daerah ini, wacana ini telah menjadi tuntutan sebagian di
kalangan masyarakat dan bangsa Muslim. Mulai dari Mesir oleh Ikhwanul Muslimin,
Pakistan dengan Zia al-Haqnya, Iran dengan Khumaeni, Libya dengan Muammar
Khadafi, hingga negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunai
Darusalam dan Indonesia.
Bagi Indonesia
pemikiran Islam dan tata negar bisa dikatakan belum sempat berkembang jauh,
walau pun partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan sejak zaman
penjajah, tetapi pada saat itu, sebagaiman parta-partai poitik selain Islam,
perhatian partai-partai politik Islam terpusatkan pada perjuangan pembebasan
Indonesia dari penjajahan Belanda. Bahkan sampai tahun-tahun pertama
kemerdekaan penonjolan Islam oleh partai-partai politik Islam baru sebatas
syiar, simbol atau slogan, tanpa uraian yang rinci. Misalnya PSII dalam
kongresnya pada bulan Januari 1927 mengesahkan suatu resolusi bahwa partai
tersebut memperjuangkan “Kemerdekaan Kebangsaan yang Berdasarkan Islam”. Tetapi
tidak lama kemudian, terungkap bahwa resolusi tersebut tidak berarti bahwa
partai tersebut menginginkan agar pola politik di Indonesia merdeka nanti di
dasarkan atas Islam. (Sjadzali, 1991: 189)
Pada tanggal 17 Nopember 1945 berdirilah Masyumi
(Majelis Syura Muslim Indonesia) sebagai satu-satunya partai politik umat Islam
Indonesia. Pada bulan Desember 1945 Masyumi mengeluarkan suatu program aksi
yang mengemukakan bahwa partai ini bermaksud melaksanakan cita-cita Islam dalam
kenegaraan, hingga bisa mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan
rakyat dan masyarakat yang berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam, serta
memperkuat dan menyempurnakan Undang-undang Dasar RI sehingga dapat mewujudkan
masyarakat dan negara Islam. (Sjadzali, 1991: 190)
No comments:
Post a Comment