Inilah krisis multi dimensi itu. Anak pejabat digebek karena
narkoba, pencuri ayam dibakar hidup-hidup, pemimpin publik dijerat kasus
korupsi, pejabat penindas dan penyuap dipilih wakil rakyat, pemimpin negara lebih
doyan pelesiran, sumbangan kemanusiaan ditilep aparat, nestapa di TKI di
Nunukan, konsumerisme kelas atas di kota besar, pembunuhan kemanusiaan di Aceh,
konflik tafsir keagamaan di Jakarta, konflik etnis di Kalimantan, konflik agama
di Maluku, dipungkasi oleh kemacetan system hokum dan tatanan social di semua
sector dan lapis kehidupan.
Lupakan
klaim demokrasi sebagai obat semua masalah.
Lupakanlah liberalisme atau fundamentalisme sebagai kunci
penyelesaiaan.Lupakan keyakinan dogmatis pada narasi besar. Krisis ini begitu
banyak wajah, sehingga semua teori sosiologi memperoleh pembenaran di
Indonesia. Mari kita lihat satu per satu, dan bagaimana teori sosiologi
memberikan solusi atas masalah-masalah social dalam perspektifnya
masing-masing.
Menurut teori
Patologi social; sebab utama masalah social karena kegagalan sosialisasi
nilai-nilai social/ norma-norma moralitas. Banyak individu melakukan
pelanggaran terhadap ekspektasi terhadap kepatutan moral. Guru mencabuli
muridnya, orang tua rela membunuh anaknya sendiri, bonek menghancurkan sarana
publik, wakil rakyat lebih memperjuangkan aspirasi yang dibayar. Erosi
moralitas ini disebabkan oleh kegagalan proses belajar social sebagai akibat
kerapuhan sistem pendidikan dan prananta social. Di dalam masyarakat
tradisional kontrol moral dapat dilakukan karena kedekatan hubungan social dan
gossip. Karena modernisasi mengakibatkan merenggangnya hubungan social dan
dikuti menguatanya ketidak pedulian social. Sementara pendidikan dan pranata
baru masyarakat tak mampu mengantisipasi perkembengan inin. Dalam perspektif
ini solusinya adalah penyempurnaan proses belajar social.
Menurut
teori disorganisasi Sosial, masalah social terjadi karena kemacetan
system peraturan. Hal ini disebabkan karena bubrahnya tradisi, konflik antar
peraturan, serta kealpaan dan kelemahan system hokum. Perubahan social yang
dipicu oleh perkembangan tekhnologi, penduduk, dan budaya mempercepat
ketidaksesuaian system peraturan. Sementara kelompok masyarakat yang merasa
diuntungakan oleh peraturan lama berusaha mempertahankan status quo .
Hal ini diperparah oleh lemahnya law enforcement sebagai penjamin
kepastian social. Akibatnya terjadi pembusukan system saraf social yang
bertugas menjaga keserasian hubungan kemasyarakatan. Dalam perspektif ini,
solusinya adalah membangun kembali kesimbangan system social dengan melakukan
reformasi system peraturan dan penegakan kepastian hokum.
Menurut “teori
konflik nilai”, masalah social terjadi karena benturan nilai. Kompetisi
budaya dan ideology serta tipe-tipe kontak antar kelompok dalam masyarakat
menyulut ketegangan social. Perebutan pengaruh antar pendukung liberalisme dan
fundamentalisme, antar pemeluk agama, antara nilai budaya Barat dan Timur, atau
antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler menimbulkan polarisasi social
dan pengerasan identitas kelompok dalam masyarakat. Dalam perspektif ini,
solusinya adalah ketegasan otoritas terhadap aturan hokum, disertai upaya tawar
menwar dan upaya penyediaan dimensi consensus.
Menurut
“teori penyimpangan prilaku” masalah social terjadi karena kegagalan
institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang
menyebabkan dorongan individu untuk melakukan sosialisasi yang menyimpang.
Konsentrasi perhatian orang tua terhadap hal-hal diluar rumah, apresiasi yang
berlebihan terhadap nilai-nilai lahirliyah ketimbang keharmonisan keluarga, dan
rapuhnya keteladanan moral tokoh-tokoh masyarakat dan poltik membawa anak
kepada hypnosis pada tokoh-tokoh fiksional dan anti social. Akibatnya banyak
anak yang menimpang dari kesusilaan sosialyang diharapkan. Dalam perspektif ini
solusinya adalah membangun kembali pranata keluarga sebagai basis tumpuan
moral, serta membatasi anak-anak terhadap lingkungan serta idola-idola (role
model) yang menyimpang, seraya memulihkan kembali kredibilitas moral-moral
tokoh publik.
Menurut
teori “Sosial Kritis” masalah social harus dipandang sebagai masalah endemic
dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Sebab pokok masalah social
adalah karena dominasi dan konflik kelas kalangan “berada” yang terus menerus
mempertahankan dan memperluas apa-apa yang ada dengan pengorbanan mereka yang
“tak punya”. Konflik kelas dipicu oleh system dominasi social yang
melanggengkan ketidakadilan. Pada akhirnya, orang, kelas, negara, yang kaya
tambah kaya, sedangkan orang, negara, kelompok yang miskin tambah miskin. Dalam
perspektif ini munculnya gejala terorisme, fundamentalisme, separatisme serta
bentuk-bentuk rakalisme lainnya tidak bias dilepaskan dari stuktur-struktur
ketidakadilan. Maka dalam perspektif ini solusinya adalah penghancuran
strukur-struktur ketidakadilan, apakah lewat perjuangan kelas atau benuk
perlawanan lainnya.
Menurut
teori : “Pemberian Label” (labeling), dan konstrksionis, masalah social pada
akhirnya harus dipandang dari reaksi dan definisi orang terhadap realitas
social. Banyak masalah sepele, namun karena dipersepsi dan diberi label
yang ampuh, jadilah problem social yang serius. Sebaliknya banyak masalah yang
serius tetapi karena diberi label dan definisi yang muluk tiba-tiba menjadi
masalah yang wajar. Mencuri ayam diganjar dengan keroyokan masa dan hukuman
karena diberi label maling. Sementara pembobol keungan negara dalam jumlah yang
triliunan dianggap lumrah, bahkan dilihat sebagai kewajaran budaya karena Cuma
diberi label “koruptor” yang terkesan elitis dan jauh dari kesan penghisap
darah rakyat.
No comments:
Post a Comment