Thursday, December 20, 2012

Krisis Multi Dimensi Dan Solusi Sosiologis



Inilah krisis multi dimensi itu. Anak pejabat digebek karena narkoba, pencuri ayam dibakar hidup-hidup, pemimpin publik dijerat kasus korupsi, pejabat penindas dan penyuap dipilih wakil rakyat, pemimpin negara lebih doyan pelesiran, sumbangan kemanusiaan ditilep aparat, nestapa di TKI di Nunukan, konsumerisme kelas atas di kota besar, pembunuhan kemanusiaan di Aceh, konflik tafsir keagamaan di Jakarta, konflik etnis di Kalimantan, konflik agama di Maluku, dipungkasi oleh kemacetan system hokum dan tatanan social di semua sector dan lapis kehidupan.
            Lupakan klaim demokrasi sebagai obat semua masalah.  Lupakanlah liberalisme atau fundamentalisme sebagai kunci penyelesaiaan.Lupakan keyakinan dogmatis pada narasi besar. Krisis ini begitu banyak wajah, sehingga semua teori sosiologi memperoleh pembenaran di Indonesia. Mari kita lihat satu per satu, dan bagaimana teori sosiologi memberikan solusi atas masalah-masalah social dalam perspektifnya masing-masing.
            Menurut teori Patologi social; sebab utama masalah social karena kegagalan sosialisasi nilai-nilai social/ norma-norma moralitas. Banyak individu melakukan pelanggaran terhadap ekspektasi terhadap kepatutan moral. Guru mencabuli muridnya, orang tua rela membunuh anaknya sendiri, bonek menghancurkan sarana publik, wakil rakyat lebih memperjuangkan aspirasi yang dibayar. Erosi moralitas ini disebabkan oleh kegagalan proses belajar social sebagai akibat kerapuhan sistem pendidikan dan prananta social. Di dalam masyarakat tradisional kontrol moral dapat dilakukan karena kedekatan hubungan social dan gossip. Karena modernisasi mengakibatkan merenggangnya hubungan social dan dikuti menguatanya ketidak pedulian social. Sementara pendidikan dan pranata baru masyarakat tak mampu mengantisipasi perkembengan inin. Dalam perspektif ini solusinya adalah penyempurnaan proses belajar social.
            Menurut teori disorganisasi Sosial, masalah social terjadi karena kemacetan system peraturan. Hal ini disebabkan karena bubrahnya tradisi, konflik antar peraturan, serta kealpaan dan kelemahan system hokum. Perubahan social yang dipicu oleh perkembangan tekhnologi, penduduk, dan budaya mempercepat ketidaksesuaian system peraturan. Sementara kelompok masyarakat yang merasa diuntungakan oleh peraturan lama berusaha mempertahankan status quo . Hal ini diperparah oleh lemahnya law enforcement sebagai penjamin kepastian social. Akibatnya terjadi pembusukan system saraf social yang bertugas menjaga keserasian hubungan kemasyarakatan. Dalam perspektif ini, solusinya adalah membangun kembali kesimbangan system social dengan melakukan reformasi system peraturan dan penegakan kepastian hokum.
            Menurut “teori konflik nilai”, masalah social terjadi karena benturan nilai. Kompetisi budaya dan ideology serta tipe-tipe kontak antar kelompok dalam masyarakat menyulut ketegangan social. Perebutan pengaruh antar pendukung liberalisme dan fundamentalisme, antar pemeluk agama, antara nilai budaya Barat dan Timur, atau antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler menimbulkan polarisasi social dan pengerasan identitas kelompok dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, solusinya adalah ketegasan otoritas terhadap aturan hokum, disertai upaya tawar menwar dan upaya penyediaan dimensi consensus.
            Menurut “teori penyimpangan prilaku” masalah social terjadi karena kegagalan institusi keluarga (primary group) serta rusaknya keteladanan yang menyebabkan dorongan individu untuk melakukan sosialisasi yang menyimpang. Konsentrasi perhatian orang tua terhadap hal-hal diluar rumah, apresiasi yang berlebihan terhadap nilai-nilai lahirliyah ketimbang keharmonisan keluarga, dan rapuhnya keteladanan moral tokoh-tokoh masyarakat dan poltik membawa anak kepada hypnosis pada tokoh-tokoh fiksional dan anti social. Akibatnya banyak anak yang menimpang dari kesusilaan sosialyang diharapkan. Dalam perspektif ini solusinya adalah membangun kembali pranata keluarga sebagai basis tumpuan moral, serta membatasi anak-anak terhadap lingkungan serta idola-idola (role model) yang menyimpang, seraya memulihkan kembali kredibilitas moral-moral tokoh publik.
            Menurut teori “Sosial Kritis” masalah social harus dipandang sebagai masalah endemic dan bagian inheren dari masyarakat kapitalis. Sebab pokok masalah social adalah karena dominasi dan konflik kelas kalangan “berada” yang terus menerus mempertahankan dan memperluas apa-apa yang ada dengan pengorbanan mereka yang “tak punya”. Konflik kelas dipicu oleh system dominasi social yang melanggengkan ketidakadilan. Pada akhirnya, orang, kelas, negara, yang kaya tambah kaya, sedangkan orang, negara, kelompok yang miskin tambah miskin. Dalam perspektif ini munculnya gejala terorisme, fundamentalisme, separatisme serta bentuk-bentuk rakalisme lainnya tidak bias dilepaskan dari stuktur-struktur ketidakadilan. Maka dalam perspektif ini solusinya adalah penghancuran strukur-struktur ketidakadilan, apakah lewat perjuangan kelas atau benuk perlawanan lainnya.
            Menurut teori : “Pemberian Label” (labeling), dan konstrksionis, masalah social pada akhirnya harus dipandang dari reaksi dan definisi orang terhadap realitas social. Banyak masalah sepele, namun karena dipersepsi dan diberi label yang ampuh, jadilah problem social yang serius. Sebaliknya banyak masalah yang serius tetapi karena diberi label dan definisi yang muluk tiba-tiba menjadi masalah yang wajar. Mencuri ayam diganjar dengan keroyokan masa dan hukuman karena diberi label maling. Sementara pembobol keungan negara dalam jumlah yang triliunan dianggap lumrah, bahkan dilihat sebagai kewajaran budaya karena Cuma diberi label “koruptor” yang terkesan elitis dan jauh dari kesan penghisap darah rakyat.   

No comments:

Post a Comment