Kesadaran yang cukup tinggi
bagi ummat Islam khususnya di kecamatan Banjarsari untuk mengeluarkan zakat,
tampaknya baru terlihat dalam hal zakat fitrah. Kesadaran untuk mengeluarkan
zakat mal (harta) masih belum menggembirakan tetapi tidak dipungkiri ada
sebagian yang sadar, bahkan hartanya belum menyampai nishab pun tetapi dia
mengelurkan zakat malnya.
Zakat fitrah yang diberikan
menjelang hari raya idul fitri biasanya dibagi habis kepada mustahiknya, tetapi
kadang-kadang ada juga yang masih tersisa dan kemudian diserahkan kepada
badan-badan sosial keagamaan, seperti panti asuhan yatim piatu, dan sering juga
bagian untuk amil dialihkan untuk keperluan pembangunan seperti perbaikan
tempat ibadah, madrasah dan lain sebagainya.
Pemanfaatan zakat mal adalah
lebih luas dari pada zakat fitrah, dan masalah ini sangat tergantung dari
pengelolaannya, bila pengelolaannya baik maka zakat itu akan sangat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat (mustahik). Dengan demikian maka lazimnya
pemanfaatan zakat di salah satu daerah akan berbeda dengan daerah lain,
tergantung dari pandangan keagamaan suatu masyarakat dan kreativitas para
pengelolanya (amil). Sebagaimana pendayagunaan zakat yang dilakukan di
Banjarsari:
1. Dipergunakan untuk meringankan penderitaan
masyarakat.
Pada umumnya zakat itu
diberikan kepada fakir miskin atau asnaf lainnya dengan tujuan untuk
meringankan beban hidup sekelompok masyarakat (mustahik). Zakat yang diberikan
itu berupa materi, ada kalanya berupa bahan makanan pokok dan ada pula yang
berupa uang.
2. Dipergunakan untuk pembanguanan.
Di antara zakat yang
terkumpul, ada sebagian digunakan untuk pembanguanan, seperti rehabilitasi
tempat ibadah dan madrasah.
Konsep
Mengenai Shadaqah/Infaq
Kata ”Shadaqah” dapat
ditemukan dalm al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran mengulangi penggunaan kata
Shadaqah di beberapa tempat di dalam Surat Madinah sebanyak 12 kali.
Dilihat dari aspek etimologis,
kata “Shadaqah” berarti sedekah atau
derma (yunus: 214). Shadaqah juga dapat berarti Zakat (QS. At-Taubah: 103).
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata Shadaqah yang bersal dari bahasa Arab
itu telah diresepsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata ”Sedekah” yang
berarti ” derma kepada orang miskin dan sebagainya bedasarkan cinta kasih
kepada sesama manusia”.
Termenologi Shadaqah ini juga
dapat di temukan di berbagai literatur, dengan persfsi dan formulasi beragam,
antra lain:
a. Rosulullah SAW bersabda: bahwa ”setiap
perbuatan yang ma’ruf adalah Shadaqah” (Shahih Muslim, tt,I:403).
b. Shadaqah adalah pemberian atas suatu benda
dengan mengharap pahala (Sayyid Sabiq,tt, II: 252)
c. Shadaqah adalah suatu pemberian yang
diberikan oleh seorang Muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu sebagai kebajikan yang mengharap
ridha Allah SWT dan pahala semata. (Ensiklopedi Islam, 1994: 259).
Pemberian suatu benda secara
ikhlas tanpa imbalan baik merupakan kewajiban ataupun anjuran bagi orang yang
beragama Islam atau lembaga sosial Islam kepada Mustahik/Mutashadiq A’laih
melalui lembaga atau perorangan guna kepentingan publik dengan mengharapkan
pahala dan ridha Allah SWT.
Al-Mawardi, (1973:113) berpendapat:
”Berbicara maslah shadaqah, berarti berbicara
masalah zakat, dan berbicara masalah zakat berarti pula harus berbicara masalah
shadaqah. Istilahnya boleh beda tetapi maksud tujuannya sama.”
Sayid Sabiq, (1989,I:422) berpendapat:
”Shadaqah itu tidak terbatas pada satu macam
bentuk perbutan baik tertentu saja, melainkan telah menjadi kaidah umum bahwa
setiap perbuatan mulia adalah shadaqah”.
Dr. Wahbatuzzakhili, (1989,
II:900) membagi ruang lingkup shadaqah kepad dua besaran substansi, yaitu: ”
shadaqah Wajib dan shadaqah Tatowwu”. Shadaqah wajib misalnya zakat dan
shadaqah tathowwu misalnya infaq, shadaqah jariyah, hibah, wakaf, hadiah, umra
ibra, dan lain-lain.
Dari beberapa definisi dan
peta ruang lingkup shadaqah tersebut, terlihat secara jelas bahwa substansi
shadaqah itu harus menampung persoalan zakat atau ibadah maliyah wajib lainnya,
dan pula menampung persoalan ibadah maliyah yang sepatutnya atau yang
dianjurkan dilakukan, seperti infaq dan shadaqah jariyah.
Penditribusian
Benda Shadaqah
Pembahasan tentang penyaluran benda
shadaqah kepada orang yang berahak atau kepada sasran yang tepat, termasu sub
bahasan pokok yang harus dipecahkan. Permasalahannya berangkat dari pertanyaan
kepada siapa dan dengan skala prioritas bagaimana benda shadaqah itu harus
didistribusikan
Persoalan kepada siapa dan untuk apa benda
shadaqah itu harus didistribusikan, dalam hal ini apabila benda shadaqah itu
berasal dari shadaqah zakat maka jawabannya telah jelas dalam surat at-Taubah
ayat: 60, yakni kepada 8 asnaf. Tetapi untuk pendistribusian benda-benda
shadaqah tathowwu, sasaran pendistribusiannya tidak diatur secara jelas seperti
sasaran pendistribusian benda zakat.
Dengan mendasarkan kepada
penggunaan kata shadaqah dalam surat at-Taubah ayat 60 tersebut, yang maknanya
di perluas termasuk zakat, dan juga mempertimbangkan pendapat al-Mawardi yang
menyatakan:
”Penggunaan beda-benda
shadaqah itu sendiri harus ditujukan untuk kepentingan publik, maka penulis
berpendirian bahwa penyaluran benda shadaqah tathowwu’ harus juga disalurkan
kepada 8 asnaf sebagai mustahiqnya, yaitu kepada fuqara, masakin, amilin,
muallaf, al- riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnu sabil”.
Digunakan bentuk-bentuk jama’ pada obyek-obyek
penerima benda shadaqah (mustahik), menunjukan bahwa penyalurannya harus
mementingkan kepentingan publik, dan pemertaan.
Dengan mendasarkan pada surat
Al-Balad ayat 15-16 Wahbatuzzakhili, berpendapat, bahwa skala prioritas yang
berhak mendapat penyaluran benda zakat adalah sebagai berikut:
1. Para karib kerabat, bahwa yang paling utma
untuk memperoleh shadaqah adalah kerabat, kemudian tetangga. Mereka itu lebih
berhak dari pada orang-orang yang jauh (1989, II” 919).
2. Orang-orang yang sangat memerlukan
bantuan, bahwa sangat dianjurkan menyalurkan shadaqah itu kepada orang-orang
yang sangat membutuhkan bantuan.
Dari uaraian tersebut, jelas
bahwa sekala prioritas pendistribusian atau penyaluran benda shadaqah harus
mengikuti teori getaran suara, artinya fakir mikin dan asnaf-asnaf yang lain,
atau ”shahibul hajatisysyadidah” dari kerabat mushadiq, masyarakat disekitar
wilayah mushadiq, harus didahulukan dari pada masyarakat dan syaibul
hajatasysyadia-dah yang lebih jauh[1].
Tujuan
dan Sasaran
Untuk dapat menyusun program
atau pilot proyek pendayagunaan zakat yang lebih bermanfaat tidak dapat ditebak
begitu saja diatas meja atau diperkirakan tanpa ada data yang mendukungnya.
Diantara data yang dapat digali untuk mendukung terwujudnya piloy proyek itu
adalah data tentang besarnya hasil zakat yang dapat terkumpul untuk tiap-tiap
daerah. Dan untuk itu timbul pertanyaan benarkah dalam kenyataannya. Zakat yang
dikumpulkan, dari segi kuantitas mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan
sebagai proyek sosial keagamaan yang mampu meningkatkan taraf hidup umat Islam.
Apabila zakat itu hanya
diambil dari wajib zakat seperti yang disebut dalam buku atau kitab-kitab fiqh
lama, umpamanya hasil bumi (makanan pokok), ternak (sapi, kambing, kerbau),
emas yang disimpan bukan untuk perhiasan, dan senagainya besar kemungkinan
wajib zakat di Indonesia itu sangat sedikit, dan sudah barang tentu, hasil yang
terkumpul itu tidak seperti yang diharapkan. Padahal dikalangan masyarakat yang
sedang mengalami perubahan-perubahan (modernisasi), usaha seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami pergeseran atau perubahan bentuk.
Tentunya konsep tentang wajib zakat itu juga harus berubah, kalau tidak, maka
seseorang pegawai swasta atau pegawai negeri yang mempunyai gaji Rp. 1000.000,00,
atau lebih setiap bulannya dan memiliki kendaraan mobil umpamanya, karena
dengan alasan bahwa gaji itu sifatnya konsumtif maka tidak wajib zakat.
Sedangkan kalau kita bandingkan dengan petani yang mempunyai hasil 1 ton padi
umpamanya, sudah kena wajib zakat, jelas pendapatan gaji pegawai negri tersebut
jauh lebih besar. Mengapa tidak, sebab petani yang mempunyai hasil satu 1ton
padi atau sekali dalam musim panen yang waktunya 6 bulan atau ada yang satu
tahun. Dengan demikian setiap bulannya hanya mendapat hasil 1,5 kwintal kurang
lebih 75 kg beras, ini berarti baru sama dengan jatah beras seorang pegawai
negeri, padahal seorang pegawai selain mendapat jatah beras juga mendapat gaji.
Disamping menjajagi berapa
besarnya hasil zakat yang akan dijadikan modal didalam suatu proyek usaha itu,
juga suatu hal yang harus dipertimbangkan adalah memahami lebih dalam lagi
tentang keadaan mustahik di daerah tersebut dan keadaan masyarakat pada
umumnya.
Namun demikian, sebenarnya
belum juga dapat disusun program proyek yang tepat, sebab kalau kita punya modal
dan pengetahuan tentang lokasi (wilayah usaha), tetapi tidak mempunyai keahlian
dalam pengelolaan juga belum cukup. Namun juga kalau kita menunggu lengkapnya
persyaratan-persayaratan, rasanya gagasan itu makin jauh untuk dapat
direalisasi. Untuk itu, atas keberanian atau pengalaman-pengalaman yang
sederhana, kiranya proyek rintisan itu dapat dicobakan di beberapa daerah.[2]
No comments:
Post a Comment