Friday, December 21, 2012

Pendayagunaan Zakat



Kesadaran yang cukup tinggi bagi ummat Islam khususnya di kecamatan Banjarsari untuk mengeluarkan zakat, tampaknya baru terlihat dalam hal zakat fitrah. Kesadaran untuk mengeluarkan zakat mal (harta) masih belum menggembirakan tetapi tidak dipungkiri ada sebagian yang sadar, bahkan hartanya belum menyampai nishab pun tetapi dia mengelurkan zakat malnya.
Zakat fitrah yang diberikan menjelang hari raya idul fitri biasanya dibagi habis kepada mustahiknya, tetapi kadang-kadang ada juga yang masih tersisa dan kemudian diserahkan kepada badan-badan sosial keagamaan, seperti panti asuhan yatim piatu, dan sering juga bagian untuk amil dialihkan untuk keperluan pembangunan seperti perbaikan tempat ibadah, madrasah dan lain sebagainya.
Pemanfaatan zakat mal adalah lebih luas dari pada zakat fitrah, dan masalah ini sangat tergantung dari pengelolaannya, bila pengelolaannya baik maka zakat itu akan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (mustahik). Dengan demikian maka lazimnya pemanfaatan zakat di salah satu daerah akan berbeda dengan daerah lain, tergantung dari pandangan keagamaan suatu masyarakat dan kreativitas para pengelolanya (amil). Sebagaimana pendayagunaan zakat yang dilakukan di Banjarsari:
1.      Dipergunakan untuk meringankan penderitaan masyarakat.
Pada umumnya zakat itu diberikan kepada fakir miskin atau asnaf lainnya dengan tujuan untuk meringankan beban hidup sekelompok masyarakat (mustahik). Zakat yang diberikan itu berupa materi, ada kalanya berupa bahan makanan pokok dan ada pula yang berupa uang.
2.      Dipergunakan untuk pembanguanan.
Di antara zakat yang terkumpul, ada sebagian digunakan untuk pembanguanan, seperti rehabilitasi tempat ibadah dan madrasah.
 
Konsep Mengenai Shadaqah/Infaq  
Kata ”Shadaqah” dapat ditemukan dalm al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran mengulangi penggunaan kata Shadaqah di beberapa tempat di dalam Surat Madinah sebanyak 12 kali.
Dilihat dari aspek etimologis, kata “Shadaqah”  berarti sedekah atau derma (yunus: 214). Shadaqah juga dapat berarti Zakat (QS. At-Taubah: 103). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata Shadaqah yang bersal dari bahasa Arab itu telah diresepsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata ”Sedekah” yang berarti ” derma kepada orang miskin dan sebagainya bedasarkan cinta kasih kepada sesama manusia”.
Termenologi Shadaqah ini juga dapat di temukan di berbagai literatur, dengan persfsi dan formulasi beragam, antra lain:
a.       Rosulullah SAW bersabda: bahwa ”setiap perbuatan yang ma’ruf adalah Shadaqah” (Shahih Muslim, tt,I:403).
b.      Shadaqah adalah pemberian atas suatu benda dengan mengharap pahala (Sayyid Sabiq,tt, II: 252)
c.       Shadaqah adalah suatu pemberian yang diberikan oleh seorang Muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu sebagai kebajikan yang mengharap ridha Allah SWT dan pahala semata. (Ensiklopedi Islam, 1994: 259).
Pemberian suatu benda secara ikhlas tanpa imbalan baik merupakan kewajiban ataupun anjuran bagi orang yang beragama Islam atau lembaga sosial Islam kepada Mustahik/Mutashadiq A’laih melalui lembaga atau perorangan guna kepentingan publik dengan mengharapkan pahala dan ridha Allah SWT.
Al-Mawardi, (1973:113) berpendapat:
”Berbicara maslah shadaqah, berarti berbicara masalah zakat, dan berbicara masalah zakat berarti pula harus berbicara masalah shadaqah. Istilahnya boleh beda tetapi maksud tujuannya sama.”
Sayid Sabiq, (1989,I:422) berpendapat:
”Shadaqah itu tidak terbatas pada satu macam bentuk perbutan baik tertentu saja, melainkan telah menjadi kaidah umum bahwa setiap perbuatan mulia adalah shadaqah”.
Dr. Wahbatuzzakhili, (1989, II:900) membagi ruang lingkup shadaqah kepad dua besaran substansi, yaitu: ” shadaqah Wajib dan shadaqah Tatowwu”. Shadaqah wajib misalnya zakat dan shadaqah tathowwu misalnya infaq, shadaqah jariyah, hibah, wakaf, hadiah, umra ibra, dan lain-lain.
Dari beberapa definisi dan peta ruang lingkup shadaqah tersebut, terlihat secara jelas bahwa substansi shadaqah itu harus menampung persoalan zakat atau ibadah maliyah wajib lainnya, dan pula menampung persoalan ibadah maliyah yang sepatutnya atau yang dianjurkan dilakukan, seperti infaq dan shadaqah jariyah.

Penditribusian Benda Shadaqah
Pembahasan tentang penyaluran benda shadaqah kepada orang yang berahak atau kepada sasran yang tepat, termasu sub bahasan pokok yang harus dipecahkan. Permasalahannya berangkat dari pertanyaan kepada siapa dan dengan skala prioritas bagaimana benda shadaqah itu harus didistribusikan
Persoalan kepada siapa dan untuk apa benda shadaqah itu harus didistribusikan, dalam hal ini apabila benda shadaqah itu berasal dari shadaqah zakat maka jawabannya telah jelas dalam surat at-Taubah ayat: 60, yakni kepada 8 asnaf. Tetapi untuk pendistribusian benda-benda shadaqah tathowwu, sasaran pendistribusiannya tidak diatur secara jelas seperti sasaran pendistribusian benda zakat.
Dengan mendasarkan kepada penggunaan kata shadaqah dalam surat at-Taubah ayat 60 tersebut, yang maknanya di perluas termasuk zakat, dan juga mempertimbangkan pendapat al-Mawardi yang menyatakan:
”Penggunaan beda-benda shadaqah itu sendiri harus ditujukan untuk kepentingan publik, maka penulis berpendirian bahwa penyaluran benda shadaqah tathowwu’ harus juga disalurkan kepada 8 asnaf sebagai mustahiqnya, yaitu kepada fuqara, masakin, amilin, muallaf, al- riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnu sabil”.
Digunakan bentuk-bentuk jama’ pada obyek-obyek penerima benda shadaqah (mustahik), menunjukan bahwa penyalurannya harus mementingkan kepentingan publik, dan pemertaan.
Dengan mendasarkan pada surat Al-Balad ayat 15-16 Wahbatuzzakhili, berpendapat, bahwa skala prioritas yang berhak mendapat penyaluran benda zakat adalah sebagai berikut:
1.      Para karib kerabat, bahwa yang paling utma untuk memperoleh shadaqah adalah kerabat, kemudian tetangga. Mereka itu lebih berhak dari pada orang-orang yang jauh (1989, II” 919).
2.      Orang-orang yang sangat memerlukan bantuan, bahwa sangat dianjurkan menyalurkan shadaqah itu kepada orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan.
Dari uaraian tersebut, jelas bahwa sekala prioritas pendistribusian atau penyaluran benda shadaqah harus mengikuti teori getaran suara, artinya fakir mikin dan asnaf-asnaf yang lain, atau ”shahibul hajatisysyadidah” dari kerabat mushadiq, masyarakat disekitar wilayah mushadiq, harus didahulukan dari pada masyarakat dan syaibul hajatasysyadia-dah yang lebih jauh[1].    
                                                      
Tujuan dan Sasaran
Untuk dapat menyusun program atau pilot proyek pendayagunaan zakat yang lebih bermanfaat tidak dapat ditebak begitu saja diatas meja atau diperkirakan tanpa ada data yang mendukungnya. Diantara data yang dapat digali untuk mendukung terwujudnya piloy proyek itu adalah data tentang besarnya hasil zakat yang dapat terkumpul untuk tiap-tiap daerah. Dan untuk itu timbul pertanyaan benarkah dalam kenyataannya. Zakat yang dikumpulkan, dari segi kuantitas mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan sebagai proyek sosial keagamaan yang mampu meningkatkan taraf hidup umat Islam.
Apabila zakat itu hanya diambil dari wajib zakat seperti yang disebut dalam buku atau kitab-kitab fiqh lama, umpamanya hasil bumi (makanan pokok), ternak (sapi, kambing, kerbau), emas yang disimpan bukan untuk perhiasan, dan senagainya besar kemungkinan wajib zakat di Indonesia itu sangat sedikit, dan sudah barang tentu, hasil yang terkumpul itu tidak seperti yang diharapkan. Padahal dikalangan masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan (modernisasi), usaha seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengalami pergeseran atau perubahan bentuk. Tentunya konsep tentang wajib zakat itu juga harus berubah, kalau tidak, maka seseorang pegawai swasta atau pegawai negeri yang mempunyai gaji Rp. 1000.000,00, atau lebih setiap bulannya dan memiliki kendaraan mobil umpamanya, karena dengan alasan bahwa gaji itu sifatnya konsumtif maka tidak wajib zakat. Sedangkan kalau kita bandingkan dengan petani yang mempunyai hasil 1 ton padi umpamanya, sudah kena wajib zakat, jelas pendapatan gaji pegawai negri tersebut jauh lebih besar. Mengapa tidak, sebab petani yang mempunyai hasil satu 1ton padi atau sekali dalam musim panen yang waktunya 6 bulan atau ada yang satu tahun. Dengan demikian setiap bulannya hanya mendapat hasil 1,5 kwintal kurang lebih 75 kg beras, ini berarti baru sama dengan jatah beras seorang pegawai negeri, padahal seorang pegawai selain mendapat jatah beras juga mendapat gaji.
Disamping menjajagi berapa besarnya hasil zakat yang akan dijadikan modal didalam suatu proyek usaha itu, juga suatu hal yang harus dipertimbangkan adalah memahami lebih dalam lagi tentang keadaan mustahik di daerah tersebut dan keadaan masyarakat pada umumnya.
Namun demikian, sebenarnya belum juga dapat disusun program proyek yang tepat, sebab kalau kita punya modal dan pengetahuan tentang lokasi (wilayah usaha), tetapi tidak mempunyai keahlian dalam pengelolaan juga belum cukup. Namun juga kalau kita menunggu lengkapnya persyaratan-persayaratan, rasanya gagasan itu makin jauh untuk dapat direalisasi. Untuk itu, atas keberanian atau pengalaman-pengalaman yang sederhana, kiranya proyek rintisan itu dapat dicobakan di beberapa daerah.[2]


[1] Drs. H. Abdul Manan,S.H.,S.IP.,M.Hum. Drs. M. Fauzan, S.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata.Ed. 1.,Cet.5.hal 137-142
[2] Departemen Agama, Pedoman Zakat, ,seri 7, hal 25-26

No comments:

Post a Comment