Thursday, December 20, 2012

Bangkit Dari Krisis Dengan Pengelolaan Dana Sosial Umat


Lahirnya reformasi pada tahun 1998 sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mendasar yaitu agar bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang mulai menggerogoti bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Tetapi yang terjadi sampai hari ini awal tahun 2003 yang berarti perjalanan reformasi sudah hampir lima tahun harapan itu tak kunjung datang. Bahkan krisis ekonomi semakin menjadi-jadi. Tahun 2003 diawali dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), dan tarif telefon yang kemudian diikuti kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup. Tingkat pengangguran yang menyebabkan kemiskinan semakin meningkat terus terjadi di mana-mana. Baik karena perusahaan-perusahaan yang gulung tikar karena krisis atau para investor yang lari dari Indonesia. Menurut catatan Badan Pusat Statistik pengangguran Indonesia mencapai 40 juta orang (Kompas, 2 Januari 2003), dan angka kemiskinan mencapai 17% dari jumlah penduduk Indonesia (Pikiran Rakyat, 3 Januari 2003). Celakanya, dalam situasi yang parah ini pemerintah tidak mampu memberikan lapangan kerja yang memadai bagi masyarakat.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini salah satu faktornya adalah karena bangsa Indonesia tidak memiliki ketahanan dan kemandirian ekonomi. Tetapi sebaliknya bahwa Indonesia sangat tergantung kepada dana pinjaman luar negeri seperti IMF dan dana pinjaman lainnya. Keadaan yang sangat sulit ini menjadikan kita harus berpikir bagaimana agar rakyat Indonesia dapat membangun ekonomi di atas kaki dan kekuatan tangan sendiri agar berbagai goncangan gerakan kapitalisme global yang menjajah secara ekonomi terhadap negara-negara dunia ketiga (mayoritas adalah negara-negara Islam termasuk Indonesia) dapat kita hadapi.
            Salah satu celah untuk mengobati krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah dengan mendayagunakan pengelolaan dana sosial umat. Dana sosial umat yang dimaksudkan di sini adalah dana yang diperuntukan sebagai dana sosial, baik diterima secara langsung oleh orang-orang yang membutuhkannya atau tidak langsung oleh lembaga-lembaga tertentu yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan untuk didistribusikan kepada masyarakat banyak, tidak untuk kepentingan pribadi, kelompok atau politik tertentu. Tetapi ia suatu bantuan tertentu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Dana sosial seperti itu dalam Islam dikenal dengan nama haqqullah atau hak umat. Dana tersebut  meliputi : dana Zakat, Infak, Shadakah, dan Wakaf. Agama Islam menetapkan ketiga jenis aturan itu merupakan kewajiban yang harus dita’ati dengan beban kemestian yang berbeda-beda. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya Al-Ibadah Fil Islam menetapkan ketiganya sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dalam wujud mendermakan harta (al ibadah maaliyah al-ijtimaiyah al-islamiyah).
Survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) Jakarta di sebelas kota besar di Indonesia baru-baru ini, dengan 2500 responden, mengungkapkan sejumlah informasi menarik. Tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika (77%) , apalagi Jerman (44%) dan Perancis (43%). Hampir semua responden (96%) mengaku memberi sedekah kepada seseorang, sebagian besar memberi kepada lembaga keagamaan (84%), maupun lembaga non keagamaan (77%). Sedangkan secara spesifik  Menteri  Agama Said Agiel H. Munawar mengatakan potensi Zakat di Indonesia per tahunnya mencapai 7,5 triliun. Perkiraan ini berdasarkan asumsi BPS bahwa 90% penduduk Indonesia beragama Islam (40 juta KK), dan sebagian darinnya, 32 juta KK, adalah penduduk “sejahtera” berpenghasilan Rp. 10 juta – Rp 1 Milyar/KK/tahun. Dengan kewajiban zakat 2,5% dari batas nisab (setara 85 gram emas) diperoleh angka Rp. 7,5 triliun itu (Hasil Survey PIRAC 2002)
 Melihat penjelasan di atas ada sejumlah informasi penting yaitu bahwa budaya berderma rakyat Indonesia yang cukup tinggi bahkan tertinggi di dunia hingga mencapai 96 % dan potensi zakat masyarakat Islam Indonesia yang sangat potensial mencapai 7,5 triliun per tahun. Ini mengindikasikan bahwa dana sosial yang dapat dikumpulkan di Indonesia cukup banyak dan cukup untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda negeri kita.Tetapi yang terjadi bahwa masyarakat belum dapat merasakan manfaat dari pendayaagunaan dana sosial tersebut.  Mengapa potensi serta dana sosial yang cukup banyak ini belum dapat dimanage dengan baik? Apa persoalan yang sebenarnya terjadi?
Setidaknya ada beberapa faktor tidak optimalnya pendayaagunaan dana sosial, di antaranya : pertama, pola menyumbang masyarakat. Kurang optimalnya pendayaagunaan dana sosial ini terkait dengan pola menyumbang masyarakat yang bersifat individual dan langsung. Sebagian masyarakat kita masih lebih suka menyumbangkan dananya secara langsung kepada penerima daripada menyalurkan lewat lemabaga sosial. Sumbangan individual ini pada umumnya karikatif. Masyarakat lebih suka menyumbang kepada orang, kelompok atau masyarakat tertentu yang erat kaitannya dengan dirinya sendiri. Kedua, kapasitas dan akuntabilitas lembaga pengelola. Dalam beberapa kasus, dana sosial tidak dapat dikelola dan didayagunakan dengan baik karena rendahnya kapasitas dan akuntabilitas lembaga pengelolanya. Dalam kasus wakaf, misalnya, sebagian besar pengelola wakaf belum memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep wakaf dan pengelolaannya. Akibatnya selain tidak berkembang dan tidak produktif, juga terjadi penyimpangan dalam penggunaannya. Misalnya, tanah yang diwakafkan diperebutkan lagi oleh para ahli warisnya atau hanya dikuasai oleh pengelolanya. Akhirnya manfaat wakaf juga lebih banyak dinikmati oleh pengelolanya, bukan masyarakat umum yang berhak. Pengelola wakaf juga belum bisa mengelola dan memanfa’atkannya secara optimal. Padahal sesuai hadis Nabi, wakaf bermakna sebagai “kebun” yang punya konotasi produktif. Dengan dasar itu wakaf punya makna luas ketimbang sekadar hal-hal yang terkait dengan penyediaan kuburan, mesjid atau sejenisnya. Di negara-negara lain, misalnya di Malaysia, Turki, India, Pakistan, Banglades, Uganda, dll, konsep dan pengelolaan wakaf jauh lebih maju (Hamid Abidin, Galang, 2002). Di negara-negara tersebut dana wakaf sudah dikembangkan menjadi dana abadi untuk pengembangan kebudayaan, pendidikan, ekonomi, bahkan investasi di berbagai bisnis komersial yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara nyata.
Praktek manajemen pendayagunaan dana sosial di negara kita adalah dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 293/2002 yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Sosial, dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam SKB itu disepakati Depag akan mengkoordinasikan dana hasil pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dana itu akan disalurkan pemerintah daerah yang bertangung jawab di bidang kesejahteraan sosial untuk mendanai pelaksanaan program fakir miskin.
Tetapi lagi-lagi bahwa kita tidak bisa berharap banyak, ketika dana sosial umat (zakat) itu diintervensi pengelolaannya oleh pemerintah. Yang biasanya terjadi adalah pendayaagunaannya sering tidak mencapai sasaran. Baik sasaran waktu, mustahik, maupun produktifitas pendayagunaannya. Akuntabilitas dan kredibilitasnya sulit untuk dapat diterima oleh masyarakat. Maka agar persoalan pendayagunaan itu dapat dimanage dengan baik dan masyarakat muslim mampu mengumpulkan dana sosial sekaligus membentuk lembaga yang mampu mendayagunakan dana sosial secara produktif untuk membangun perekonomian yang kuat, sebagai langkah awal keluar dari krisis, ada serangkaian agenda kerja yang perlu kita lakukan bersama : pertama, melakukan pendidikan dan penyadaran kepada penyumbang. Misalnya, sosialisasi hak-hak donatur (donor bill of right) dan membuka wawasan mereka dalam memahami problematika sosial. Kedua, perlunya upaya reinterpretasi pendayagunaan dana sosial umat dari ulama dan cendekiawan. Kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat penyumbang maupun lembaga penggalang dana. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas dan keahlian lemabaga sosial dalam mendayagunakan dana sosial. Ke-empat khusus di daerah, baik di tingkat kabupaten atau kota, perlunya pembentukan lembaga yang independen, akuntabel, dan profesional (non pemerintah) untuk pengumpulan dan pendayaagunaan dana sosial umat. Sehingga dana sosial (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan sumbangan dalam bentuk lainnya) dapat didayagunakan secara produktif dan mampu memberikan pelayanan pada kebutuhan masyarakat secara langsung. Seperti dalam bentuk lembaga bisnis umat, pendidikan, rumah sakit gratis bagi fakir miskin (seperti yang dilakukan di daerah Ciputat Jakarta), dan fasilitas umum lainnya. Wallahu ‘Alam.***

No comments:

Post a Comment