Lahirnya reformasi pada tahun
1998 sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mendasar yaitu agar bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang mulai
menggerogoti bangsa Indonesia
pada pertengahan tahun 1997. Tetapi yang terjadi sampai hari ini awal tahun 2003
yang berarti perjalanan reformasi sudah hampir lima tahun harapan itu tak kunjung datang.
Bahkan krisis ekonomi semakin menjadi-jadi. Tahun 2003 diawali dengan kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), dan tarif telefon
yang kemudian diikuti kenaikan harga berbagai kebutuhan hidup. Tingkat
pengangguran yang menyebabkan kemiskinan semakin meningkat terus terjadi di
mana-mana. Baik karena perusahaan-perusahaan yang gulung tikar karena krisis
atau para investor yang lari dari Indonesia . Menurut catatan Badan
Pusat Statistik pengangguran Indonesia mencapai 40 juta orang (Kompas, 2
Januari 2003), dan angka kemiskinan mencapai 17% dari jumlah penduduk Indonesia
(Pikiran Rakyat, 3 Januari 2003). Celakanya, dalam situasi yang parah
ini pemerintah tidak mampu memberikan lapangan kerja yang memadai bagi
masyarakat.
Krisis ekonomi
yang berkepanjangan ini salah satu faktornya adalah karena bangsa Indonesia tidak
memiliki ketahanan dan kemandirian ekonomi. Tetapi sebaliknya bahwa Indonesia sangat
tergantung kepada dana pinjaman luar negeri seperti IMF dan dana pinjaman
lainnya. Keadaan yang sangat sulit ini menjadikan kita harus berpikir bagaimana
agar rakyat Indonesia dapat
membangun ekonomi di atas kaki dan kekuatan tangan sendiri agar berbagai
goncangan gerakan kapitalisme global yang menjajah secara ekonomi terhadap
negara-negara dunia ketiga (mayoritas adalah negara-negara Islam termasuk Indonesia )
dapat kita hadapi.
Salah
satu celah untuk mengobati krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah dengan
mendayagunakan pengelolaan dana sosial umat. Dana sosial umat yang dimaksudkan
di sini adalah dana yang diperuntukan sebagai dana sosial, baik diterima secara
langsung oleh orang-orang yang membutuhkannya atau tidak langsung oleh
lembaga-lembaga tertentu yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan untuk
didistribusikan kepada masyarakat banyak, tidak untuk kepentingan pribadi,
kelompok atau politik tertentu. Tetapi ia suatu bantuan tertentu untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Dana sosial
seperti itu dalam Islam dikenal dengan nama haqqullah atau hak umat.
Dana tersebut meliputi : dana Zakat,
Infak, Shadakah, dan Wakaf. Agama Islam menetapkan ketiga jenis aturan itu
merupakan kewajiban yang harus dita’ati dengan beban kemestian yang berbeda-beda.
Yusuf Qardlawi dalam kitabnya Al-Ibadah Fil Islam menetapkan ketiganya
sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dalam wujud mendermakan harta (al
ibadah maaliyah al-ijtimaiyah al-islamiyah).
Survei PIRAC (Public
Interest Research and Advocacy Center ) Jakarta di
sebelas kota besar di Indonesia baru-baru ini, dengan
2500 responden, mengungkapkan sejumlah informasi menarik. Tingkat bersedekah (rate
of giving) masyarakat Indonesia
terbukti jauh lebih tinggi dari bangsa Amerika (77%) , apalagi Jerman (44%) dan
Perancis (43%). Hampir semua responden (96%) mengaku memberi sedekah kepada
seseorang, sebagian besar memberi kepada lembaga keagamaan (84%), maupun
lembaga non keagamaan (77%). Sedangkan secara spesifik Menteri
Agama Said Agiel H. Munawar mengatakan potensi Zakat di Indonesia per
tahunnya mencapai 7,5 triliun. Perkiraan ini berdasarkan asumsi BPS bahwa 90%
penduduk Indonesia beragama Islam (40 juta KK), dan sebagian darinnya, 32 juta
KK, adalah penduduk “sejahtera” berpenghasilan Rp. 10 juta – Rp 1
Milyar/KK/tahun. Dengan kewajiban zakat 2,5% dari batas nisab (setara 85 gram
emas) diperoleh angka Rp. 7,5 triliun itu (Hasil Survey PIRAC 2002)
Melihat penjelasan di atas ada sejumlah
informasi penting yaitu bahwa budaya berderma rakyat Indonesia yang cukup
tinggi bahkan tertinggi di dunia hingga mencapai 96 % dan potensi zakat
masyarakat Islam Indonesia yang sangat potensial mencapai 7,5 triliun per
tahun. Ini mengindikasikan bahwa dana sosial yang dapat dikumpulkan di Indonesia cukup
banyak dan cukup untuk mengentaskan kemiskinan yang melanda negeri kita.Tetapi
yang terjadi bahwa masyarakat belum dapat merasakan manfaat dari pendayaagunaan
dana sosial tersebut. Mengapa potensi
serta dana sosial yang cukup banyak ini belum dapat dimanage dengan
baik? Apa persoalan yang sebenarnya terjadi?
Setidaknya ada
beberapa faktor tidak optimalnya pendayaagunaan dana sosial, di antaranya : pertama,
pola menyumbang masyarakat. Kurang optimalnya pendayaagunaan dana sosial
ini terkait dengan pola menyumbang masyarakat yang bersifat individual dan
langsung. Sebagian masyarakat kita masih lebih suka menyumbangkan dananya
secara langsung kepada penerima daripada menyalurkan lewat lemabaga sosial.
Sumbangan individual ini pada umumnya karikatif. Masyarakat lebih suka menyumbang
kepada orang, kelompok atau masyarakat tertentu yang erat kaitannya dengan
dirinya sendiri. Kedua, kapasitas dan akuntabilitas lembaga
pengelola. Dalam beberapa kasus, dana sosial tidak dapat dikelola dan
didayagunakan dengan baik karena rendahnya kapasitas dan akuntabilitas lembaga
pengelolanya. Dalam kasus wakaf, misalnya, sebagian besar pengelola wakaf belum
memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep wakaf dan pengelolaannya.
Akibatnya selain tidak berkembang dan tidak produktif, juga terjadi penyimpangan
dalam penggunaannya. Misalnya, tanah yang diwakafkan diperebutkan lagi oleh
para ahli warisnya atau hanya dikuasai oleh pengelolanya. Akhirnya manfaat
wakaf juga lebih banyak dinikmati oleh pengelolanya, bukan masyarakat umum yang
berhak. Pengelola wakaf juga belum bisa mengelola dan memanfa’atkannya secara
optimal. Padahal sesuai hadis Nabi, wakaf bermakna sebagai “kebun” yang punya
konotasi produktif. Dengan dasar itu wakaf punya makna luas ketimbang sekadar
hal-hal yang terkait dengan penyediaan kuburan, mesjid atau sejenisnya. Di
negara-negara lain, misalnya di Malaysia ,
Turki , India ,
Pakistan , Banglades , Uganda ,
dll, konsep dan pengelolaan wakaf jauh lebih maju (Hamid Abidin, Galang, 2002).
Di negara-negara tersebut dana wakaf sudah dikembangkan menjadi dana abadi
untuk pengembangan kebudayaan, pendidikan, ekonomi, bahkan investasi di
berbagai bisnis komersial yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara nyata.
Praktek
manajemen pendayagunaan dana sosial di negara kita adalah dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 293/2002 yang ditandatangani Menteri Agama,
Menteri Sosial, dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam SKB
itu disepakati Depag akan mengkoordinasikan dana hasil pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dana itu akan
disalurkan pemerintah daerah yang bertangung jawab di bidang kesejahteraan
sosial untuk mendanai pelaksanaan program fakir miskin.
Tetapi
lagi-lagi bahwa kita tidak bisa berharap banyak, ketika dana sosial umat
(zakat) itu diintervensi pengelolaannya oleh pemerintah. Yang biasanya terjadi
adalah pendayaagunaannya sering tidak mencapai sasaran. Baik sasaran waktu,
mustahik, maupun produktifitas pendayagunaannya. Akuntabilitas dan
kredibilitasnya sulit untuk dapat diterima oleh masyarakat. Maka agar persoalan
pendayagunaan itu dapat dimanage dengan baik dan masyarakat muslim mampu
mengumpulkan dana sosial sekaligus membentuk lembaga yang mampu mendayagunakan
dana sosial secara produktif untuk membangun perekonomian yang kuat, sebagai
langkah awal keluar dari krisis, ada serangkaian agenda kerja yang perlu kita
lakukan bersama : pertama, melakukan pendidikan dan penyadaran kepada
penyumbang. Misalnya, sosialisasi hak-hak donatur (donor bill of right) dan
membuka wawasan mereka dalam memahami problematika sosial. Kedua,
perlunya upaya reinterpretasi pendayagunaan dana sosial umat dari ulama dan
cendekiawan. Kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat penyumbang maupun
lembaga penggalang dana. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas dan keahlian
lemabaga sosial dalam mendayagunakan dana sosial. Ke-empat khusus di
daerah, baik di tingkat kabupaten atau kota ,
perlunya pembentukan lembaga yang independen, akuntabel, dan profesional (non
pemerintah) untuk pengumpulan dan pendayaagunaan dana sosial umat. Sehingga
dana sosial (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan sumbangan dalam bentuk lainnya)
dapat didayagunakan secara produktif dan mampu memberikan pelayanan pada
kebutuhan masyarakat secara langsung. Seperti dalam bentuk lembaga bisnis umat,
pendidikan, rumah sakit gratis bagi fakir miskin (seperti yang dilakukan
di daerah Ciputat Jakarta), dan fasilitas umum lainnya. Wallahu ‘Alam.***
No comments:
Post a Comment